MENGENAL MUDHARABAH DALAM ISLAM

MUDHARABAH DALAM ISLAM





1.    PENGERTIAN MUDHARABAH

      Mudharabah berasal dari kata adh-dharbu fil ardhi, yaitu berjalan di muka bumi. Dan berjalan di muka bumi ini pada umumnya dilakukan dalam rangka menjalankan suatu usaha, berdagang atau berjihad di jalan Allah, sebagaimana firman Allah di dalam surat Al-Muzzammil, ayat ke-20.



Mudharabah disebut juga qiraadh, berasal dari kata alqardhu yang berarti al-qath’u (sepotong), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya. 
(Lihat AFiqhus Sunnah, karya Sayid Sabiq III/220, dan Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz,karya ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, hal.359)



Sedangkan menurut istilah fiqih, Mudharabah ialah akad perjanjian (kerja sama usaha) antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati.
(Lihat Fiqhus Sunnah Karya Sayid Sabiq III/220)  

2. HUKUM MUDHARABAH DALAM ISLAM

Mudharabah hukumnya boleh berdasarkan dalil-dalil berikut:

a. Al-Qur’an:
1. Firman Allah: “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah..”. (QS. al-Muzzammil: 20)
Dan firman-Nya: “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….” (QS. al-Ma’idah: 1)
 2. Firman Allah: “Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”.
(QS. Al-Baqarah: 283] dan [QS. al-Ma’idah: 1)

 b. Al-Hadits:
1. Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi) jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib (pengelola)nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib/pengelola) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.”
(HR. Al-Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra (6/111))
2. Shuhaib radhiyallahu anhu berkata: Rasulullahbersabda: “Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan
mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.”
(HR. Ibnu Majah)

c. Ijma:
Para ulama telah berkonsensus atas bolehnya mudharabah. (Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd (2/136))
Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’. (al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah Zuhaily,  4/838)

3. JENIS-JENIS MUDHARABAH

Secara umum, Mudharabah terbagi menjadi dua jenis:
  1. Mudharabah Muthlaqah (Mudharabah secara mutlak/bebas). Maksudnya adalah bentuk kerja sama antara pemilik modal dan pengelola modalyang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salafus sholih seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari pemilik modal kepada pengelola modal yang memberi kekuasaan sangat besar.
  2. Mudharabah Muqayyadah (Mudharabah terikat). Jenis ini adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Yakni pengelola modal dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha.
Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai dengan kehendak pemilik modal.

5. RUKUN DAN SYARAT MUDHARABAH

Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa Mudharabah memiliki lima rukun:
  1. Modal.
  2. Jenis usaha.
  3. Keuntungan.
  4. Shighot (pelafalan transaksi)
  5. Dua pelaku transaksi, yaitu pemilik modal dan pengelola. (Ar-Raudhah karya imam Nawawi (5/117))
Sedangkan syarat-syarat dalam Mudharabah ialah sebagaimana berikut:

1. Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.

2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
     a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
     b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
     c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.

3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada pengelola (mudharib) untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
   a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
   b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
   c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib (pengelola modal), baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal.
Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
   a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
   b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
  c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.

5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
  a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif pengelola (mudharib), tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
  b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
  c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah,dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu. 
(sumber http://www.mui.or.id)

6. Orang yang mengelola modal harus amanah
    Mudharabah hukumnya boleh, baik secara mutlak maupun muqayyad (terikat/bersyarat), dan pihak pengelola modal tidak mesti menanggung kerugian kecuali karena sikapnya yang melampaui batas dan menyimpang. Ibnul Mundzir menegaskan, “Para ulama sepakat bahwa jika pemilik modal melarang pengelola modal melakukan jual beli secara kredit, lalu ia melakukan jual beli secara kredit, maka ia harus menanggung resikonya.”
(al-Ijma’ hal. 125, dinukil dari Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, karya ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, hal.359)

Dari Hakim bin Hizam, sahabat Rasulullah, bahwa Beliau pernah mempersyaratkan atas orang yang Beliau beri modal untuk dikembangkan dengan bagi hasil (dengan berkata), “Janganlah engkau menempatkan hartaku ini pada binatang yang bernyawa, jangan engkau bawa ia ke tengah lautan, dan jangan (pula) engkau letakkan ia di lembah yang rawan banjir; jika engkau melanggar salah satu dari larangan tersebut, maka engkau harus mengganti hartaku.”
(Shahih Isnad: Irwa-ul Ghalil V: 293, Ad-Daruquthni II: 63 no: 242, Al-Baihaqi VI: 111)

7. BILA TERJADI KERUGIAN, SIAPAKAH YANG MENANGGUNGNYA?
    Kerugian dalam mudharabah ini mutlak menjadi tanggung jawab pemilik modal . Dengan catatan, pihak pengelola tidak melakukan kelalaian dan kesalahan prosedur dalam menjalankan usaha yang telah disepakati syarat-syaratnya. Kerugian pihak pengelola adalah dari sisi tenaga dan waktu yang telah dikeluarkannya tanpa mendapat keuntungan. Ini adalah perkara yang telah disepakati oleh para ulama, seperti yang telah ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (XXX/82).

8. PEMBATASAN WAKTU DAN PEMBATALAN USAHA MUDHARABAH
    Usaha Mudharabah dapat dibatasi waktunya dan dibatalkan oleh salah satu pihak dari pemilik modal maupun pengelola modal. Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan transaksi kapan saja dia mau.
Al-Kasani berkata: “Sekiranya seseorang menerima modal untuk usaha mudharabah selama satu tahun, maka menurut pandangan kami hal itu hukumnya boleh.” (Bada-i’u Ash-Shana-i’ VIII/3633)
Ibnu Qudamah berkata: “Boleh membatasi waktu mudharabah seperti mengatakan, “Aku memberimu modal sekian dirham agar kamu mengelolanya selama satu tahun. Bila sudah berakhir waktunya maka kamu tidak boleh membeli atau menjual.” (Al-Mughni V/69).

Demikian sebagian masalah mudharabah yang dapat disampaikan melalui tulisan sederhana ini. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. 

Sumber :
https://abufawaz.wordpress.com/2012/11/02/mengenal-konsep-mudharabah-bagi-hasil-yang-syari/

CREATED BY : ALYSHA H.K

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGENAL MUJARO'AH, MUKHABARAH, DAN MUTSAQAH

DOMAIN

Perbankan Syariah